Saya tidak tahu dengan Farhan, tapi setidaknya hal itu yang saya rasakan. Boleh jadi karena selama perjalanan kami disuguhi sudut-sudut kota fotogenik, cita rasa makanan mumpuni, dan penduduk lokal yang selalu bersedia membantu di saat kesulitan. Bikin kami betah dan berat pulang. Reaksi yang mungkin agak berlebihan untuk hanya 12 hari perjalanan, tapi kalau ditanya mau balik lagi tidak ke Jepang? Saya mau, tanpa babibu.
Ada banyak hal yang berkesan bagi saya selama berkunjung ke sana, dan sebagian bisa saya bagi di sini.
JR Pass or Not?
Biar tidak terlalu ribut soal transportasi dan menyesuaikan dengan itinerary kami yang agak sering berpindah kota, kami beli JR Pass berdurasi 7 hari. Ini membantu menghemat budget perjalanan antarkota dengan Shinkansen dan JR Rapid Train, apalagi sejak tahun lalu dari Kanazawa sudah ada rute Shinkansen yang langsung menuju Tokyo tanpa harus berpindah kereta lagi di kota lain, sehingga memudahkan kami yang memang berencana one day trip ke Shirakawa-go dari Kanazawa, kemudian lanjut menuju Tokyo di malam harinya.
JR Pass juga membantu perjalanan half/one day trip di kota-kota lain yang dekat dengan Tokyo, misalnya ke Yokohama dan Hakone. Itinerary kami ke Ghibli Museum dan Tokyo Disneyland juga mengunakan rute kereta yang masuk dalam jalur JR Pass. Kami hanya gunakan Metro atau Subway untuk rute jarak dekat sehingga tidak perlu beli 1 Day atau 3 day pass – Tokyo Metro Tourist. Kebetulan juga saat dekat tanggal keberangkatan sedang ada promo JR Pass di tripvisto.com, harga JR Pass yang bila di kurs Indonesia biasanya sekitar 3,4 – 3,5 juta jadi hanya 3 juta rupiah. Lumayan hemat karena kami beli JR Pass untuk 2 orang. Selain tripvisto, JR Pass juga bisa dibeli secara online di http://www.jrpass.com/ atau travel agent seperti HIS Travel
Untuk yang itinerary-nya lebih santai dan tidak terburu-buru mengejar waktu pindah kota bisa juga pakai Japan Bus Pass (Willer Express Bus Passes), budget friendly dan ada Overnight trip antarkotanya. Ohya, di Kyoto dan Kanazawa, berkeliling di dalam kota bisa dilakukan dengan naik bus jarak dekat, bersepeda, atau bahkan berjalan kaki, karena banyak objek wisatanya masih dalam satu area (walking distance). Dari segi transportasi, fasilitas yang tersedia di Jepang terbilang sangat memanjakan wisatawan mancanegara karena mudah dijangkau dan bervariasi tergantung kebutuhan masing-masing.
Jogging di Rooftop Shopping Mall
Di Osaka kami mampir ke Q’s Mall Morinomiya. Kok jauh-jauh ke Jepang, mainnya ke Mall? Sebelumnya Farhan sempat membaca di satu majalah bahwa di lantai paling atas (rooftop) Mall ini ada running track yang bisa dipergunakan kapan saja oleh pengunjung mall tanpa dipungut biaya. Dengan jarak lintasan sepanjang 300 meter, running track di rooftop Q’s Mall Morinomiya ini memiliki 3 lintasan yang bisa dipergunakan, 2 untuk lintasan lari dan 1 lagi untuk berjalan santai. Kami sengaja datang untuk melepas rasa penasaran dan tentu saja mencoba running track-nya. Bahkan ada juga yang datang memakai baju kerja dan menyempatkan jalan berkeliling running track.
Di dalam Q’s Mall Morinomiya ini juga ada 2 lapangan futsal, fasilitas fitness, dan climbing gyms. Mungkin ini cara berpikir kreatif atau salah satu niat baik dari pemilik Mall agar pengunjung yang sedang menunggu pasangannya berbelanja tidak merasa bosan dan memiliki opsi lain menikmati kunjungannya di Q’s Mall.
Museum Hopping
Sempat berpikir Farhan kurang tertarik untuk berkunjung museum di Jepang, tapi ternyata dia yang justru request beberapa museum untuk dikunjungi seperti 21st Century Museum of Contemporary Art di Kanazawa dan Ghibli Museum di Mitaka, Tokyo.
Buat saya Ghibli Museum ini berkesan sekali. Saya tidak begitu familiar animasi karya Hayao Miyazaki. Idola kartun Jepang saya selama ini Doraemon, Sailor Moon, Ranma ½, dan Cardcaptor Sakura. Tapi dengan kunjungan singkat museum ini mampu menjawab rasa penasaran terkait dengan proses pembuatan animasi dari Studio Ghibli. Kita pun tidak diizinkan untuk menggunakan kamera atau video di dalam museum. Selain untuk menjaga originalitas, pengunjung ‘dipaksa’ untuk memberi perhatian penuh pada berbagai karya yang disuguhkan di museum tanpa sibuk sendiri foto selfie.
Di dalam museum juga diputar film eksklusif dari Studio Ghibli, jangan ragu untuk menonton dan bersiap-siap untuk terpukau. Karakter-karakternya pun ternyata menarik dan lucu, dan sepertinya banyak pengunjung yang kepincut dengan Totoro, termasuk saya. Pulang dari sana sudah ada boneka Totoro yang saya kantongi, hasil berkunjung ke souvenir shop Ghibli Museum.
Sempatkan juga baca kisah Farhan di sini. Ini berhubungan dengan bagaimana kita harus reservasi tiket jauh-jauh hari sebelum mengunjungi Museum Ghibli di Mitaka, Tokyo.
Mengejar Kuncup Sakura
Awal Maret sebenarnya bukan bulan lumrah turis berkunjung ke Jepang, apalagi turis Indonesia, karena cherry blossoms baru mulai sekitar akhir Maret sampai dengan pertengahan April. Tapi berhubung kami dapat tiket pesawat promo, jadi ya dinikmati saja, hehee..
Ketika sedang berada di Kyoto, kami mendapat info dari akun Instagram Jonangu Shrine bahwa sedang digelar festival Plum Blossoms & Camellia Flower di sana. Jonangu Shrine sendiri merupakan kuil kuno yang awalnya dibangun dengan tujuan melindungi Ibukota (dulu Kyoto) dan terkenal karena empat kebunnya mewakili empat gaya yang berbeda dari empat periode era Jepang; Heian, Muromachi, Momoyama, dan Heisei. Taman di Jonangu Shrine memiliki kolam, rumah teh, air terjun mini, dan taman gaya lanskap kering khas Jepang.
Lucunya, halang rintang cukup banyak di hari kami mencoba peruntungan kesana. Dimulai dengan hujan yang tidak berhenti sejak pagi sampai jelang senja, koneksi wifi sewaan timbul tenggelam sehingga harus sering bertanya kepada penduduk lokal untuk arah yang benar, sampai nyeri kaki saya yang kambuh karena berjalan kaki terlalu lama dan nyasar mencari lokasi Jonangu Shrine yang jauh dari hiruk pikuk kota. Namun berpegang teguh pada keyakinan “let’s get lost and you’ll be surprised!” Akhirnya kami mantapkan hati dan inilah hasilnya:
Tampilan kuyup kami tentu kontras dengan pengunjung lain yang berbalut kimono cantik penuh warna dan tatanan rambut rapi. Mereka penuh sukacita mengabadikan momen bersama yang terkasih, tanpa merasa terganggu dengan rintik hujan yang enggan berhenti. Kami yang melihat hal tersebut pun akhirnya semangat kembali, menikmati jalan setapak penuh bunga Camellia dan kuncup-kuncup bunga Sakura yang seperti sedang berlomba untuk mekar lebih dulu dari yang lainnya. I must say that Japanese are awesome. Their energy can influence people, well at least for me and Farhan back at that day. Can’t think other way than that.
Menggenggam Salju di Shirakawa-go
Satu itinerary di Jepang yang saya ajukan sejak awal adalah berkunjung ke desa Shirakawa-go, yakni salah satu Situs Warisan Dunia yang berada di Jepang. Terletak di lembah sungai Shokawa, di perbatasan Prefektur Gifu dan Prefektur Toyama.
Desa Shirakawa-go ini terkenal akan rumah tradisional yaitu gasshō-zukuri atau “konstruksi tangan berdoa”. Dengan ciri khas bentuk atap rumah yang miring dan seperti melambangkan tangan orang yang sedang berdoa. Desain rumah ini sangat kuat dan memiliki bahan atap yang unik yang menjaga kekokohan bangunannya karena desa ini akan diliputi salju yang sangat tebal pada musim dingin. Saya mencocokkan tanggal kedatangan kami ke sana dan sepertinya masih akan ada salju yang bisa kami temui, hati senang bukan kepalang.
Untuk menghindari badai salju yang biasanya datang di sore hari hari, kami ambil jadwal perjalanan via Nohi bus di pagi hari dan kembali jelang sore, dan juga karena di malam harinya kami mengejar Shinkansen menuju Tokyo.
Happy Kids in Disneyland
Saya dan Farhan bukan penggila taman bermain, tapi Disneyland Tokyo bukan taman bermain yang bisa dilewatkan begitu saja. Masih terkenang bagaimana kami antri lebih dari satu jam hanya untuk bertemu figur Mickey Mouse. Rasa jenuh dan berkali-kali tanya dalam hati “Ini ngapain sih coba antri begini cuma mau ketemu Mickey?”, tiba-tiba hilang dan sumringah begitu melihat figur Mickey Mouse dari jarak 2 meter, padahal foto bareng juga belum. Kami pun rela menunggu sampai malam untuk melihat parade karnaval para tokoh Disney, semacam terbius suasana “The happiest place on earth” yang di elu-elukan.
Mampirlah ke Disneyland Tokyo jika ada kesempatan dan nikmati wahana serta atraksi yang disuguhkan. Kalau bisa hindari akhir pekan karena biasanya akan padat dengan pengunjung.
Makan lagi dan lagi
Dari awal kami sudah berniat makan makanan enak di Jepang, jadi kalau niatnya cari tips makan hemat di Jepang mungkin tidak akan ditemukan di tulisan ini. Saya dan Farhan senang mampir ke resto atau warung makan yang ada antriannya. Sederhana ya pemikirannya, tapi itu tidak pernah gagal. Semua tempat yang kami datangi karena ada antrian, pasti cita rasanya patut diacungi jempol. Tentu saja ada perjuangan tapi layak dicoba. Pernah ada satu momen dimana saya sudah tidak kuat lagi antri, cuacanya dingin dan sudah satu jam lebih antri berdiri tapi ternyata pramusajinya bilang kami masih harus menunggu satu jam setengah lagi. Kami akhirnya menyerah dan pergi ke resto lain, hahaa..
Ohya, sebenarnya makanan di Jepang cukup cocok di lidah kami, walaupun tidak ada antrian biasanya rasanya pun cukup enak dan bisa diterima. Kami mencoba beberapa kali makan di resto yang sistemnya menggunakan mesin koin. Kita masukkan koin ke mesin, pilih menu makanan, kemudian berikan kupon kertas yang keluar dari mesin kepada pramusaji resto, dan Voila! Makanan datang dengan cepat sesuai pesanan. Tipikal resto Jepang yang sangat peduli akan waktu penyajian dan praktis.
Saya merasa nyaman berkunjung ke Jepang, dan saya rasa kamu pun akan merasa begitu. Selamat mencoba! 😛
Pingback: Berwisata Signage di Jepang ~ by Farhan | Brotrip()