Sem_fotourutan1
Post Format

Ain’t no Mountain High Enough (Kisah Bakal Calon Pendaki Gunung)

On my way home, I remember only good days. Lagu dari Enya itu pertama kali aku dengar lagu itu di perjalanan pulang dengan kereta. Cukup mengusik. Apalagi, aku baru pulang dari mendaki Gunung Gede. Memang cantik pemandangannya, namun aku lebih mengingat hal lain.

Sebelumnya, aku pernah ke Curug Cibereum di kaki Gede. Dulu, sang jagawana bilang, rute pendakian Gede mudah karena sudah ada jalan setapak dari batu-batu. Karena informasi itulah, waktu teman-teman mengajakku, aku mau saja. Dan lebih “cerdas” lagi, aku sama sekali nggak meriset (alias meng-google) informasi tentang Gede sebelum pergi.

Yang pasti, Gede telah membuatku “trauma”. Bagaimana tidak, durasi pendakian perdanaku: 8 jam ke Kandang Badak, 2 jam ke puncak, 1 jam ke Surya Kencana, 1 jam ke ujung Surya Kencana, dan 5 jam ke Gunung Putri. Untunglah rute terakhir ini dilewati di malam gelap, tak ada yang melihatku menangis—antara sesal dan amat kelelahan. Jadi, maaf Enya, tidak kuingat only best days dari perjalanan itu!

Selama 3 hari setelah itu, aku bawa payung “laras panjang” ke kantor sebagai tongkat. Gila, setiap langkah saja berat, apalagi naik anak tangga. Wuih, rasanya seperti naik bukit terjal! Dan semenjak itu, karierku sebagai pendaki (awalnya kupikir akan naik ke taraf semiprofesional) dapat dibilang terhenti. Kalau ada yang mengajakku naik gunung, I said, “No, no, no!” Aku pun jadi amat pemilih, hanya mau naik gunung-gunung “gampang”, misalnya Gunung Puntang, Gunung Wukir, dan Gunung Padang—kesemuanya secara teknis merupakan bukit. The hills are alive! Tak lupa, Gunung Sahari, wilayah Jakarta, hahaha.

Hal itu berlangsung lama sampai suatu hari, aku melihat buku The Malay Archipelago karya Alfred Russel Wallace di TB Aksara. Kok namanya familier? Apa hubungannya dengan Garis Wallace?

Sekali lagi, aku mendapati diri di kereta. Nathan sedang tidur dan aku mengambil buku itu untuk mengisi waktu. Aku penasaran, apa Wallace pernah naik ke Gede. Ternyata, pernah. Dia menjelaskan betapa kayanya flora di sana: ada 300-an jenis pakis serta puluhan perdu yang mirip dengan yang ada di Eropa. Dia terheran-heran, bagaimana bisa gunung di daerah tropis Asia memiliki ciri-ciri gunung alpin Eropa?

Sem_fotourutan2

Aku pun kembali mengingat-ingat apa saja yang kulihat sepanjang pendakian. Ya, aku ingat aku dibuat takjub oleh banyak flora, seperti stroberi liar, belasan bunga yang aku-nggak-tahu-namanya-dan-baru-pertama-lihat, pohon pakis yang setinggi pohon kelapa, dan bunga edelweiss jawa yang hidup. Luar biasa!

Tentang Flora, Wallace menulis bahwa dia mendapat beberapa jenis merpati buah di sana. Menariknya, dia hanya menemukan sedikit serangga. Dia kecewa nggak lihat seekor pun kupu-kupu. Ah, kasihan! Sementara itu, aku melihat banyak kupu-kupu dan serangga di Gede. banyak di antaranya adalah yang pertama kali kulihat, terutama kumbang besar bermotif polkadot. Wah, betapa beruntungnya aku (dibandingkan Wallace)!

Elo baca buku apa? Lucu?” tanya Nathan yang baru bangun.

“Nggak,” sahutku.

“Kok senyum-senyum?”

Aku hanya tersenyum lalu melihat ke luar jendela. Membaca itu, rasa-rasanya seperti adegan langit mendung yang terbelah, lalu sinar matahari menyeruak dan menyinari bumi. Aku mendapatkan pencerahan. Rasa-rasanya trauma itu pun hilang dan jadi pengin naik gunung. Dan meski pendakian ke Gede itu sudah terjadi lama, kini bolehlah aku mengingat-ingat only best days dari perjalanan itu!

Sem_fotourutan3

Sem Purba

Posted by

SemSa adalah penulis lepas, punya ketertarikan akan travel, budaya, kuliner, serta flora dan fauna.