Sedikit terlambat 3 bulan untuk saya berkenalan dengan mereka, dibanding kawan-kawan lain yang terlebih dulu datang berkunjung. Mereka adalah masyarakat desa Alor Kecil, sebuah desa di barat laut Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, Indonesia.
Mungkin ini sedikit menggelikan: timbul perasaan ragu & khawatir jika tidak diterima di sana, menghantui diri sesaat mobil travel meninggalkan saya di pelabuhan kecil yang menghubungkan Alor Kecil – Pulau Kepa. Sejauh saya berpergian ke tempat baru, dimana pun itu, baru kali ini saya merasa nervous. Menggelikan memang, seperti pertama kali diajak pacar bertemu keluarganya untuk pertama kali.
Seperti Monic, seorang dokter gigi asal Jakarta (Bogor) yang mengawali pengalamannya dengan bermain di lapangan takraw Kalabahi untuk berkenalan dengan masyarakat setempat, saat pertama kali ia tiba di Alor untuk memulai dua tahun masa baktinya.
Mungkin, kekhawatiran kami beralasan, karena perkenalan ini bukan untuk waktu singkat dan sementara, atau sekedar basa-basi. Tapi untuk jangka waktu yang panjang, mungkin seumur hidup, sebuah pengharapan masa depan.
Sekali lagi, seperti layaknya kalian yang hendak berumahtangga dengan sebuah keluarga baru. Sebuah komitmen luar biasa bukan?
Tapi kekhawatiran saya pupus disaat Kak Ais (panggilan akrab Bang Haris Marangki) – sang pemilik homestay Marangki Kepa – menyambut saya dengan hangat setibanya di pulau kecil itu. Setelah sedikit berkenalan, datang seorang paruh baya berpenampilan sederhana di atas kapal mendekati homestay, dan menyapa: “Hey bro, saya Arif, yang mengantar teman-teman diving kemarin!”. Melihat saya sedikit bingung, dia langsung menambahkan: “Ini saya Kapten Dugong”. Ah, dan seketika itu pula saya kenal dan akrab dengan sosok Bang Arif alias Kapten Dugong, yang selalu mengantar saya menyebrangi dan mengelilingi pulau.
Bang Arif memiliki seorang anak perempuan bernama Atun. Setiap pukul 6.30 pagi, ia mengantarkan anak-anak menyebrang untuk bersekolah. Saya beruntung bisa ikut menyaksikan rutinitas itu kemarin. Melihat anak-anak itu semangat sekolah, walau harus naik perahu menyembrang untuk sekolah, semakin membuat saya mengagumi mereka.
Kami sadar, untuk mendirikan sebuah usaha di daerah ini, kami tidak bisa berjalan sendiri tanpa dukungan masyarakat. Puji syukur, kami kenal dengan keluarga Bapak Sere, yang bersedia menyewakan tanahnya untuk kami kelola. Bapak Sere memiliki tiga anak, yang salah satunya bernama Sam. Kami berkenalan dengan Sam 2-3 tahun lalu di Jakarta, saat dia sedang mengambil sertifikasi Dive Master. Sebuah perkenalan yang menjadi berkah untuk kami berenam, sehingga bisa menginjakan kaki di tanah pengharapan ini. Entah apa yang membuat saya yakin, bahwa keputusan bekerja sama dengan keluarga Bapak Sere adalah sesuatu yang patut disyukuri, mengingat segala kebaikan dan penerimaannya.
Hal ini diperkuat dengan pendapat Kak Ais yang sempat ia utarakan pada saya saat makan malam bersama. Sebagai orang lokal, ia ingin melihat daerahnya maju. Ia ingin masyarakat Alor bisa semakin mandiri dan dapat bersaing. Sumber daya alam di sini melimpah ruah, potensi pariwisata dan bisnis terbuka lebar. Namun harus diakui keterbatasan ilmu dan pengetahuan menjadi kendala bagi mereka. Oleh karena itu, ia sangat berantusias saat saya bercerita tentang rencana kami membangun Dive Resort.
Selain masyarakat asli Alor Kecil, ada juga teman-teman rantau yang sedang mengabdikan dirinya di sini. Diperkenalkan oleh Monic, saya bertemu Dito, Ilham, Marga, Sandy dan yang lainnya. Dito bekerja sebagai dokter umum di RSUD, Ilham pengeksplorasi tambang yang memiliki hobi freediving dan spearfishing. Sementara Marga dan Sandy adalah bankir yang bekerja di BRI Kalabahi.
Ungkapan “memajukan daerah” mungkin terdengar klise, namun melihat potensi yang ada disini dan merujuk fakta bahwa terdapat 80% Dive Operator di Indonesia dimiliki oleh pihak asing, membuat kami berpikir apa yang bisa kami lakukan sebagai orang Indonesia? Diam saja, menunggu, dan melihat masyarakat lokal diperlakukan tidak adil? Maaf, kami tidak bisa.
Semoga #Air bisa menjadi jawaban dan harapan bagi mereka yang memiliki impian dan keyakinan.
Salam,
@justmaul
—– [ENGLISH] —–
“Meet New Family in Alor”
Three months late for me to met them, compared to all my friends who already visited back then. They are the people of Alor Kecil, a small village in the northwest of Alor Island, East Nusa Tenggara, Indonesia.
Perhaps it’s lil bit funny: there was a sense of doubt, worried and insecurity of not being accepted, haunted me when the travel car left me at the small dock that connect Alor Kecil – Kepa Island. As far as I go every time to the new place, wherever it is, I never felt awkward, but only this time I felt very nervous. Indeed funny, it was like when you’re going to meet your girlfriend’s family for the first time.
Like Monic, a dentist from Jakarta (Bogor) who started her experience by hanging around in the Takraw soccer pitch in Kalabahi, in order to meet and introduce herself to the local people there, at the first time she arrived in Alor to begin her two-years service period.
Well, I think our insecurity is reasonable, because this introduction was not for the short term, temporary or just a chit-chat. But for the longer term, perhaps for the lifetime, and a hope for future.
Again, may be like you when you’re going to settle down with new family. A huge commitment, right?
However, my insecurity slowly disappeared when Kak Ais (a nick name of Bang Haris Marangki) – the owner of Marangki Kepa homestay – welcomed me with humble gesture when I reached that little island. After a bit of introduction, there was a middle-age guy with a very simple look waved and shouted on me: “Hey bro, I’m Arif, the one who took your friends diving couple months ago!”. Looking at me confused, he immediately added: “This is me, a Capt. Mermaid”. Ah… and once that time I knew and familiar with this guy, who always takes me to get across the strait and snorkeling around the island.
Bang Arif has a cute little girl named Atun. Every morning 6.30am, he drove his boat with the kids to cross the strait to the school. Lucky me, I could witnessed this routine yesterday with them. Looked at those kids excited, although they need to get into the boat everyday for school, makes me proud and admire them even more.
I realised, in order to establish a business here, we couldn’t make it by ourself without the support of local people. Thank God, we met Bapak Sere’s family, who gave us permission and their land for us to manage it. Bapak Sere has three child, one of them is Sam. We met Sam around 2-3 years ago in Jakarta, when he was doing a Dive Master course & certification. It was a blessing introduction for everyone us, so we can step our feet here in the land of future and hope. I don’t know what is make me feel so sure that our decision to collaborate with Bapak Sere’s family is the something that we need to be grateful, considering all of their kindness and acceptance.
It strengthened by opinion from Kak Ais on what he mentioned to me while having a dinner together. As a local, he want to see his region to become advanced and prosperous. He wants people in Alor could have better living and independent. Moreover they should be able to compete with the foreigner in business. Equality in people that matter. But he understand that limitation of knowledge and capital are the biggest challenge for them. That is why, he really enthusiast when I shared my plan to doing a business and establish a Dive Resort here.
Beside the local people in Alor, there are friends who wander to fill their service period from different fields. Introduced by Monic, I met Dito, Ilham, Marga, Sandy and the others. Dito working as doctor in district hospital, Ilham is a mine explorer who has passion in freediving and spearfishing. While Marga and Sandy are the bankers who works in BRI Kalabahi.
The phrase of “empowering locals” sounds a bit cliché, but seeing an abundant potency in Alor and also referred to the comparison 80% of Dive Operator in Indonesia owned by foreigner, make me think: what we can do as Indonesian people? Just silent, waiting, while watching local people be treated unfair? Sorry, we just can’t!
I hope #Air could be the answer and hope for those who still have a dream and faith.
Sincerely,
@justmaul